Selasa, 28 Juni 2016

Mimpi

Hai, Senja.
Sudah lama aku tidak kesini.
Sudah lama aku terlalu sibuk
Sudah lama aku pura-pura tidak peduli.

Apa kabar?

Hidup ternyata makin seru.
Tapi terasa ada yang kurang.
Kadang aku merasa kosong, hampa.
Terlihat baik saja, namun tidak.

Mungkin hati sudah terlalu hitam?
Terlalu banyak berbuat kebodohan?
Suka membuang waktu?
Lalai untuk bersyukur?

Jadi ingat sebuah pepatah.
Hanya pada saat sulit kita akan berusaha menemukan diri kita sendiri.
Hanya pada saat sulit kita akan tahu siapa yang masih bersama kita.
Hanya pada saat sulit kita akan menyadari, bahwa, yang kita lakukan terkadang salah.

Tapi, tidak ada gunanya menyesali itu semua.
Itu adalah proses pembelajaran.
Menjadikan kita lebih bijak dalam memilih langkah.
Selalu ada lembaran baru yang putih bersih, walaupun halaman sebelumnya kotor pekat.

Aku masih tetap bermimpi.
Mimpi yang mungkin mustahil.
Melawan kodrat semesta.
Menciptakan mesin waktu.

Senja, kamu tahu aku rindu.

Selasa, 15 September 2015

Hai, Senja.
Sudah lama kita tidak berbincang.
Sudah lama kita disibukkan oleh kegiatan kita masing-masing.
Sudah lama kita tidak menikmati waktu bersama.

Hai, Senja.
Sekarang semuanya sudah berubah.
Sekarang sudah tidak seperti dulu.
Sekarang terkadang aku rindu saat itu.

Hai, Senja.
Kamu harus tau, bahwa aku memutuskan untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar lagi.
Semua ini aku yakin akan membuat aku menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Aku mengambil tantangan yang sebelumnya belum pernah aku pikirkan untuk aku ambil.
Aku mencoba mengambil sebuah komitmen dengan lawan jenisku.
Aku ingin menjadi manusia yang lebih baik.

Kamu kapan ada waktu?
Oh iya maaf, kamu selalu ada waktu, aku saja yang terkadang pura-pura sibuk.
Doakan aku bisa memetik pelajaran dari keputusanku.

Karena, masa itu pernah ada ya, Senja.

Minggu, 12 April 2015

Gimana?

Ada satu titik dalam hidup dimana kamu capek sama semuanya.
Berpura-pura baik-baik saja padahal tidak.
Bosan dengan semua rutinitas yang itu-itu saja.
Yang dulu menjadi zona-tidak-nyaman pun sudah menjadi zona-nyaman.
Sehingga tidak ada tantangan.

Aku ingin pulang.
Entah kemana.
Tapi, pulang tidak selalu ke rumah.
Rumah bukan tempat pulang, setidaknya untuk saat ini.
Setidaknya tidak dengan perasaan ini.

Kadang aku ingin tinggal di Skandinavia.
Bebas melihat Aurora pada saat-saat tertentu.
Berlayar dalam kedinginan.
Belajar dalam kedinginan.
Kedinginan abadi.
Padahal aku (mungkin) punya riwayat tidak tahan dingin.

Sama sajalah.
Di gurun juga gitu.
Panas, debu, silau.
Tapi,
Setidaknya di gurun kamu bisa teriak sesukamu.
Bla bla bla.

Jika manusia punya sayap, pasti keren.
Pesawat tidak laku, buat apa?
Bisa balapan terbang.
Bisa melihat dunia dari sudut yang mungkin tidak pernah kita lihat sebelumnya.
Namanya juga mengkhayal.
Gratis.

Nah, aku tidak jadi ingin pulang.
Masih ingin bertualang.
Masih ingin merasakan kelaparan selama perjalanan.
Masih ingin merasakan kedinginan selama perjalanan.
Masih ingin merasakan kepanasan selama perjalanan.
Sepertinya aku masih punya alasan untuk tidak pulang sekarang.

Eh, kamu mau ikut?

Senin, 27 Oktober 2014

Engkau

Halo. Sudah lama kita tidak berkisah disini. 5 bulan terakhir semenjak terakhir menulis perubahannya sangat signifikan. Aku diajarkan tentang banyak hal. Ada banyak sekali emosi selama 5 bulan terakhir ini. Ada banyak juga petualangan yang kujalanin. Ada banyak juga teman baru-yang-ternyata-kenalnya-situ-situ-juga.

Aku tahu. Semua ini rencana-Mu. Aku pernah bilang bahwa Engkau Maha Bercanda. Engkau memang Maha Bercanda. Engkau mengajariku bagaimana berkomunikasi lebih dekat denganmu tanpa harus ibadah rutin 5 kali sehari, kau ajarkan dengan cara aku hampir mati terkena hipotermia. Engkau mengajarkanku untuk tidak menyerah, dan ketika aku tidak menyerah, aku hanya bisa diam, luar biasa buah tidak pernah menyerah. Engkau ajarkan aku bagaimana caranya untuk ikhlas, tidak semua yang aku inginkan bisa aku dapatkan, atau mungkin belum saatnya, dan dengan cara yang menurutku: bercanda. Engkau mengajarkan padaku bahwa bumi ciptaanmu ini amat luas, dengan cara Engkau memberiku rezeki, kesempatan, kesehatan, kelancaran untuk berpetualang di tanah Jawa, yang menurutku itu sudah besar sekali, tapi ternyata setelah melihat di atlas dunia, itu bukan apa-apa.

Aku bersyukur aku bisa belajar dengan caraku sendiri, pemahamanku sendiri, dan aku nyaman dengan cara seperti ini. Aku akan terus belajar. Aku merasa ilmuku masih sangat sedikit. Aku akan terus melanjutkan petualangan ini. Terimakasih sudah memberiku banyak pelajaran berarti tentang kehidupan ini. Terimakasih, Engkau.

Minggu, 18 Mei 2014

Kamu tahu?

Aku tahu kamu tahu, tapi kamu menganggap itu semua tidak pernah terjadi.

Kamu tahu ada hari dimana aku ingin menghajar semua keparat itu, tapi kamu diamkan aku, sehingga itu tidak terjadi.

Kamu tahu ada saat dimana aku hampir menyerah, putus asa, ada hari buruk untuk semua orang bukan? Tapi kamu memberi aku semangat lewat sapaan "Gimana kuliahnya? Lancar kah?"

Kamu tahu saat aku berlebihan dalam kesenangan, kau ingatkan aku dengan omelanmu, bla.. bla.. bla.. , sesuatu yang sudah aku hapal mati.

Kita memang sudah jarang bertemu, setidaknya beberapa tahun belakangan, dan mungkin beberapa tahun kedepan.

Tapi kamu selalu tahu kapan saatnya untuk mengabariku dengan percakapan-tidak-lebih-dari-5-menit. Tahu kapan untuk memberikan aku ijin bertualang melihat keindahan Tuhan Maha Keren ini. Tahu kapan menjagaku dari batasan-batasan yang seharusnya tidak/belum sekarang untuk aku lewati.

Kita memang pernah berdiskusi dari malam sampai pagi, sering, tapi itu dulu. Sekarang, ya, aku mengerti keadaanmu. Tapi kamu selalu tahu kapan saat berdiskusi yang tepat, tanpa buang waktu, to-the-point.

Dan yang paling penting, kamu tahu kapan aku butuh pelukan. Sebuah pelukan yang membuat aku tidak usah bercerita lagi betapa rindu, bahagia, kecewa, sedih, senang, jatuh, marah, bangunnya aku.

Denganmu sebuah pelukan 10 detik bagaikan mesin waktu.

Sabtu, 03 Mei 2014

Sayap

Aku selalu berpikir bahwa pada hakikatnya manusia mempunyai sayap.
Manusia bisa menggunakan sayapnya untuk bisa terbang kemana saja.
Melihat keindahan yang diciptakan Tuhan.

Tapi, jika manusia mempunyai sayap sampai sekarang manusia akan congkak.
Manusia tidak mau berusaha.

Akan ada saatnya ketika kita akan mempunyai sayap lagi, kawan.
Ketika kita sudah lelah mengarungi dunia ini dan hinggap di tempat terakhir kita.

Rabu, 16 April 2014

Pembicaraan di tengah hujan gerimis.

Hujan. Banyak cerita dalam hujan.
Ya contohnya ini nih.

Menunggu identik dengan hujan. Bener gak?
Banyak orang beralasan telat karena nunggu hujan, gak bawa jas hujan. Meh.

Jadi, apa hubungan hujan dan menunggu dalam konteks ini?
Sembari menunggu hujan, aku berdiskusi tentang menunggu dengan temanku (cewek) inisial C.

Oke jangan berpikir yang aneh-aneh ya.

Menunggu.
Kenapa orang mau menunggu?
Karena ada sesuatu yang ditunggu?
Nope.
Karena gak bisa ngapa-ngapain lagi selain menunggu?
Nope. So?

Orang mau menunggu karena mereka sudah yakin dengan apa yang akan terjadi kedepannya, at least mereka sudah tahu siapa yang ditunggunya dan membawa 'nilai' apa dalam kehidupannya, padahal, kita semua tahu bahwa masa depan itu tidak ada yang bisa menjamin.

Menunggu itu bukan pekerjaan mudah, perlu kesabaran, ketekunan, kerja keras, bahkan bisa dibilang menunggu itu berjudi, mempertaruhkan waktu dan tenaga dan waktu itu tidak bisa ditarik kembali.

So? Menunggu itu mahal.

Apa pelajaran yang bisa kita dapat?
Dengan menunggu kita akan tahu siapa yang pantas mendapatkan hasil terbaik.
Dengan menunggu kita akan tahu siapa yang akan bertahan dalam tekanan.
Dengan menunggu kita akan tahu siapa yang bekerja keras siapa yang bermalas-malasan.
Dengan menunggu kita akan tahu siapa yang patut ditinggal.
Dengan menunggu kita akan tahu bahwa sesuatu yang kita tinggalkan untuk generasi kelak akan bermanfaat.
Dengan menunggu kita akan tahu siapa yang pergi dan siapa yang datang.

Dan, hei, menunggu itu membosankan.

(Thanks to C)